02/12/2025

“Nangiang Warih”: Sanggar Tindak Alit Hidupkan Kembali Barong Sempidi

 “Nangiang Warih”: Sanggar Tindak Alit Hidupkan Kembali Barong Sempidi

Penari Barong dari Sanggar Seni Tindak Alit tampil memukau dalam Parade Nglawang bertajuk “Nangiang Warih” di Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47, Sabtu (12/7), di Taman Budaya Provinsi Bali. Pertunjukan ini membangkitkan kembali warisan seni leluhur yang sempat vakum sejak tahun 1960.

DENPASAR (Dewannews.com) – Di antara derap langkah parade dan gaung gamelan yang melantun dari jantung Taman Budaya Bali, Sanggar Seni Tindak Alit dari Banjar Sengguan, Sempidi, Kabupaten Badung, menghadirkan sebuah pertunjukan yang tidak hanya memukau mata, tetapi juga menyentuh sanubari. Dalam gelaran Utsawa Nglawang pada Sabtu (12/7) sore, mereka membawakan sebuah karya bertajuk “Nangiang Warih”—yang dalam bahasa Bali berarti membangkitkan kembali warisan.

Tak sekadar sebuah pertunjukan, “Nangiang Warih” menjadi medium penyambung zaman: memori yang tertanam dalam tarian dan topeng yang sempat senyap selama puluhan tahun, kini kembali disuarakan dalam irama dan ekspresi yang segar. Karya ini terinspirasi dari sebuah pementasan Barong legendaris yang pernah dipanggungkan di Desa Sempidi tahun 1960 silam.

Baca Juga:  Jagat Kerthi Jadi Ruh Pertunjukan Sanggar Cakup Kaler di PKB ke-47

“Kami ingin menghidupkan kembali ingatan itu, tapi tidak sekadar meniru. Kami memberi napas baru, dengan tetap menjaga ruh dari pertunjukan aslinya,” ungkap I Putu Candra Pradhita, pemilik Sanggar Tindak Alit.

Yang membuat penampilan ini begitu istimewa adalah keikutsertaan tiga seniman sepuh—para pelaku asli dari pertunjukan 1960—yang kini kembali hadir dalam wujud bondres, tokoh jenaka yang penuh makna dalam tradisi Bali. Lewat gerak tubuh dan ekspresi mereka, kenangan dilantunkan dalam bahasa seni yang merangkul.

Baca Juga:  Tiga Prodi Sekaligus di Unwar Sabet Akreditasi Unggul

Pertunjukan dibuka dengan narasi seorang anak kecil yang bercita-cita menjadi penari Barong, lalu bertemu dengan seorang kakek yang menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Sebuah alur yang menyentuh, mencerminkan perjalanan regenerasi budaya di tengah derasnya arus zaman.

Lebih dari 100 orang terlibat dalam parade ini—penari, penabuh, pembawa cerita, hingga para pendukung dari lintas banjar di Sempidi—membentuk harmoni antar generasi dalam satu barisan seni.

Baca Juga:  Pemkot Denpasar Dorong Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Pemberdayaan UMKK Melalui Katalog Elektronik

“Kami ingin PKB tidak hanya menjadi agenda tahunan, tapi panggung yang memberi ruang pada kualitas. Sekalipun kami tampil di parade nglawang, kami tetap berikan yang terbaik,” tegas Candra.

Penggunaan topeng-topeng tua peninggalan pertunjukan asli menambah nuansa magis. Suara gamelan mengiringi gerak tari dengan alur emosional yang membuat penonton larut—beberapa bahkan tampak menitikkan air mata, terhanyut oleh kekuatan kisah yang dibawakan.

Baca Juga:  “PULA-PALA”: Simfoni Rasa Syukur dan Harmoni Alam di Kedonganan

Pertunjukan ini pun ditutup dengan tepuk tangan panjang dan sambutan hangat dari penonton. Lebih dari sekadar tontonan, “Nangiang Warih” menjadi pernyataan bahwa seni tradisi Bali tak pernah padam—ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk kembali bersuara.

Pesta Kesenian Bali ke-47, sekali lagi, menjadi arena yang bukan hanya menyuguhkan pentas budaya, tetapi juga ruang kontemplasi—tempat di mana para seniman menggali, menghidupkan, dan mewariskan kembali denyut kehidupan yang berasal dari akar paling dalam kebudayaan Bali. (jk)