Budaya Pangan Nusantara, Selaras Alam dan Gizi Seimbang

Salah satu masakan tradisional Indonesia – Ayam Bakar
Jakarta (Dewannews.com) Indonesia dikenal sebagai negara dengan keragaman budaya pangan yang kaya dan bernilai tinggi. Setiap daerah memiliki makanan khas yang sarat makna, kearifan lokal, dan kaya gizi. Namun, modernisasi membawa tantangan, termasuk pergeseran nilai dan pola makan masyarakat.
Makna dan Nilai Makanan Tradisional
Sutamara Lasurdi Noor, Koordinator Food Culture Alliance Indonesia, menjelaskan bahwa budaya pangan lebih dari sekadar tradisi. “Makanan adalah cerminan nilai, simbol, dan identitas masyarakat,” ujarnya. Di berbagai daerah, makanan tradisional memiliki sejarah dan filosofi mendalam.
Virginia Kadarsan dari Gastronomi Indonesia Network menambahkan bahwa gastronomi Nusantara memiliki nilai keberlanjutan. “Kita bisa menjaga tradisi, menambah nilai baru, dan membuatnya relevan dengan kebutuhan zaman.”
Khoirul Anwar, Pendiri Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI), menegaskan bahwa makanan tradisional selalu mempertimbangkan ketersediaan bahan lokal dan kebutuhan gizi. Misalnya, papeda di Papua disantap dengan ikan dan sayuran untuk memenuhi nutrisi seimbang.
Keseimbangan Gizi dalam Pangan Lokal
Makanan tradisional seperti masakan Padang atau bubur Manado dikenal memiliki komposisi gizi yang lengkap. Roby Bagindo, pendiri Masak TV, menekankan bahwa nenek moyang kita makan tidak hanya untuk tubuh, tetapi juga jiwa. “Makanan lokal kita selaras dengan alam dan kebutuhan hidup masyarakat setempat,” jelasnya.
Namun, ketika gaya hidup berubah, pola makan tradisional tidak selalu diikuti. Hal ini memicu masalah kesehatan baru. Roby mencontohkan, masyarakat yang berpindah ke kota kerap mempertahankan pola makan lama meski aktivitas fisiknya berkurang.
Kearifan Lokal dan Kelestarian Alam
Kebiasaan makan bersama, seperti tradisi Bajamba di Sumatra Barat, mengajarkan kebersamaan dan menghindari pemborosan makanan. Khoirul menilai food sharing bisa menjadi solusi untuk mengurangi food waste.
Selain itu, pangan lokal memiliki dampak positif bagi lingkungan. Tama dari Food Culture Alliance mengingatkan pentingnya mendukung produk lokal untuk memutus rantai distribusi panjang yang menyumbang emisi gas rumah kaca.
Kembali ke Makanan Tradisional
Menariknya, makanan tradisional kini semakin diminati, terutama di perkotaan. “Makanan tradisional menjadi sesuatu yang prestisius di kota-kota besar,” kata Tama. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat urban mulai kembali ke selera asal dan menghargai keunikan kuliner Nusantara.
Roby menekankan bahwa makanan lokal harus dilestarikan, baik dari bahan pangan maupun cara pengolahannya. “Budaya pangan kita sudah ada sejak lama, bahkan mendunia. Kini, tugas kita adalah mempertahankannya untuk generasi mendatang,” tutupnya.
Dengan menjaga pola makan tradisional yang sehat, selaras alam, dan kaya gizi, budaya pangan Nusantara dapat terus berkelanjutan. (jk/r )