Ajukan Replik, Tim Hukum Prof Antara Pertanyakan Soal Kerugian Negara Kasus SPI
DENPASAR-Dewannews.com|Sidang praperadilan terkait penetapan status tersangka Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof. I Nyoman Gde Antara dalam kasus dugaan korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) kembali digelar Rabu (26/4/2023) di Pengadilan Negeri Denpasar. Sidang praperadilan yang dipimpin hakim tunggal, Agus Akhyudi hari kedua memasuki agenda pembacaan tanggapan (Replik) dari Pemohon atas jawaban (eksepsi) termohon (Kejaksaan Tinggi Bali).
Selaku Tim Kuasa Hukum Unud, Gede Pasek Suardika menyampaikan kalau jawaban yang disampaikan oleh termohon pada sidang sebelumnya, dibantahkan dengan sangat presisi. Terutama kata dia, yang paling penting dalam kasus korupsi, adalah harus ada bukti kerugian keuangan negara. Namun terkait kasus ini, sampai sekarang hal itu tidak muncul dalam persidangan, dengan alasan itu kewenangan yang bersangkutan.
“Yang namanya kasus korupi harus ada kerugian negara, dan kerugian negara pun harus jelas berapa dan jelas pula siapa yang melakukan audit atu menghitung kerugian itu,” jelas Pasek Suardika.
Atas hal tu, pihak kuasa hukum membantah kalau kewenangan yang disampaikan oleh termohon. Pasalnya kata dia, Kejaksaan, esensinya sebagai penyidik sudah ada di KUHAP. Begitu juga di Undang-undang, kejaksaan juga tidak satupun kewenangan kejaksaan untuk melakukan audit terhadap kerugian negara, namun justru kewenangan ada di BPK dan BPKP.
Karena dalam kasus ini, berkutat di kasus korupsi, pihaknya menegaskan, tidak akan pernah ada korupsi kalau tidak ada kerugian keuangan negara. Bukti kerugian keuangan negara inilah yang dipertobatkan oleh pihak kuasa hukum terhadap termohon.
“Mana buktinya itu. Kan tidak muncul didalam jawaban itu. Makanya kami tegaskan lagi, dengan harapan mudah-mudahan besok (dalam sidang berikutnya-red) ini muncul. Bahwa ini audit BPK yang menyatakan ada kerugian keuangan negara sekian. Atau ada audit BPKP, kerugian keuangan negara sekian, atau audit dari dari irjen kerugian keuangan negara sekian, itu harus ada,” katanya mempertanyakan.
Lebih lanjut ia menyayangkan, saat ini justru yang muncul atau dipermasalahkan kerugian hanya Rp 1,8 Miliar saja. Tentu hal itu kata dia jauh sekali, dari sebelumnya dikatakan Rp 400 an Miliar merugikan perekonomian Negara, kemudian ada Rp 334 miliar kerugian negara, selanjutnya ada Rp 105 miliar kerugian negara. Ternyata yang dipermasalahkan saat ini hanya Rp 1,8 miliar. Itu pun kata dia masih debatable, yang rumpunnya administrasi negara yang tidak bisa serta merta ditarik ke pidana.
Terkait audit internal kejaksaan kata dia, tentu tidak bisa dipakai acuan. Pasalnya kata dia sebelumnya sudah ada audit BPK, sudah ada audit BPKP. Terus bagaimana BPK dan BPKB yang diatur dalam konstitusi dikalahkan oleh audit internal versi kejaksaan. “Kalau ini sampai terjadi, tentu ini sangat berbahaya. Kita restart, semua rumpun kewenangan harus diatur dalam UU, terlebih pidana. Karena pidana ini terkait dengan Hak Asasi Manusia,” ucapnya.
“Oleh karenanya, wajib ada asasnya. Orang tidak bisa dipidana, apabila tidak ada diatur terlebih dahulu. Apabila BPK yang di konstitusi menyatakan berhak berwenang, kemudian diingkari oleh kejaksaan, tentu ini sangat berbahaya, dalam relasi kewenangan, sangat berbahaya kalau ini dibiarkan,” ujarnya.
Dikatakannya, kasus ini akan berbeda hasilnya kalau BPK menyatakan ada kerugian negara, BPKP kemudian melakukan audit internal, tentu rumpunnya akan seimbang. Namun dalam kasus ini kan berbeda, yang mana irjen, audit eksternal, BPK, BPKP sudah linier menyatakan tidak ada masalah.
Lalu kemudian kejaksaan sendiri membuat aturan sendiri, tentu melanggar KUHAP pasal 1 ayat 2, dimana penyidikan itu sudah jelas menyebutkan bahwa kewenangannya adalah mencari dan mengumpulkan alat bukti, bukan membuat alat bukti. “Tentu ini akan menjadi sewenang-wenang dimana-mana nanti. Ini harus kita luruskan,” tegasnya.
Dikatakan pula, penjelasan termohon terkait kerugian keuangan negara tidak diyakini sendiri telah terjadi oleh termohon sehingga merasa perlu mengeluarkan argumentasi. Hal ini sekaligus menjawab, bahwa sejatinya termohon selain tidak memiliki kualifikasi dan kewenangan melangkahi kewenangan BPK, secara tidak langsung tidak memiliki keyakinan kuat perihal angka kerugian negara yang muncul di publik dan justru membingungkan banyak kalangan. Sehingga merasa perlu menyiapkan pasal lain yang disebutkan termohon yang tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara sama sekali.
Sedangkan terkait dengan dugaan pungli pada kasus ini, ia juga membantah hal itu. Pasalnya, kalau Pungli, merupakan pungutan liar yang tidak ada dasar hukum. Namun terkait SPI ini, ada dasar hukum dan uangnya tidak masuk ke rekening oknum, namun justru langsung ke rekening negara. “Pertanyaannya, itu memperkaya negara atau merugikan keuangan negara?. Satu lagi, harus ada unsur paksaan, apakah ada mahasiswa dan orang tuanya mengisi itu dipaksa. Tentu tidak ada, apalagi ketemu saja tidak,” bebernya.
Terkait surat pencegahan, mengenakan rektor itu pasal 12 e saja. Sementara pasal 2 dan pasal 3 itu diperkirakannya muncul. Belakangan. Pasal-pasal yang dikenakan kata dia tidak prudent. Pasal-pasal yang dikenakan, seolah-olah sengaja dikenakan yang penting banyak. Tentu ini menjadi berbahaya, Unud menjadi korban yang sangat besar apabila ini dibiarkan, dan seluruh perguruan tinggi negeri akan menjadi efek domino apabila praktek seperti ini diberikan oleh oknum-oknum kejaksaan. Yang mana membuat sendiri kerugian keuangan negara, padahal kewenangan tidak ada, dan angkanya berbeda beda. “Bagi saya ini sangat berbahaya,” tambahnya.
Setelah agenda replik, agenda selanjutnya pada Kamis 27 April 2023 adalah duplik, pembuktian surat termasuk putusan sela. Pada sidang Kamis ini, pihaknya kembali berharap bisa muncul dokumen hasil audit dari BPK, dokumen BPKP yang menyatakan bahwa ada kerugian keuangan negara.
“Kalau besok bukti itu tidak muncul lagi, saya kira, biar tidak ribut-ribut, dihentikan saja kasusnya. Atau digelar perkara ulang kami siap. Kalau misalnya ada solusi jalan tengah, kita gelar perkara ulang, kita siap datang, karena hal itu bagian dari Restorative Justice,” tutupnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Universitas Udayana (Unud) diobok-obok dan digeledah pihak Kejati Bali sebelum akhirnya Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali menetapkan Rektor Unud Prof Nyoman Gde Antara sebagai tersangka dugaan korupsi dana SPI dalam seleksi mandiri mahasiswa baru Unud tahun 2018 sampai 2022, bersama 3 pejabat Unud lainya yang telah lebih dulu ditetapkan tersangka.
Janggalnya, Rektor Unud Prof Nyoman Gde Antara yang diundang sebagai saksi pada Kamis, 9 Maret 2023 untuk datang pada Senin, 13 Maret 2023, namun anehnya ditetapkan sebagai tersangka sejak Rabu, 8 Maret 2023. Kejati Bali bahkan menjerat Prof Gde Antara dengan Pasal 2 Ayat 1, Pasal 3, Pasal 12 huruf e juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Dari hasil penghitungan penyidik mengindikasikan korupsi dana SPI mahasiswa baru seleksi jalur mandiri Unud kurun 2018 sampai 2022 menyebabkan kerugian keuangan negara Rp 109,33 miliar dan merugikan perekonomian negara Rp 334,57 miliar.(DN)