07/12/2024
07/12/2024

Eksepsi Termohon Ditolak, Prof Antara Hadirkan Empat Ahli dan Saksi Fakta

 Eksepsi Termohon Ditolak, Prof Antara Hadirkan Empat Ahli dan Saksi Fakta

PRAPERADILAN-Sidang praperadilan terkait penetapan tersangka Rektor Unud, Prof. I Nyoman Gede Antara di Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis (27/4/2023).Foto/Ist

DENPASAR-Dewannews.com|Sidang praperadilan terkait penetapan tersangka Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof. I Nyoman Gde Antara dalam kasus dugaan korupsi dana Sumbangan Pengembangan Istitusi (SPI), Kamis (27/4/2023)  kembali dilanjutkan. Sidang yang dipimpin hakim tunggal Agus Akhyudi awalnya mengagendakan pembacaan duplik atau tanggapan termohon (Kejaksaan Tinggi Bali) atas replik pemohon.

Usai mendengarkan duplik dari termohon, hakim tunggal langsung melanjutkan sidang dengan agenda putusan sela. Dimana dalam putusan sela, hakim tunggal praperadilan menolak eksepsi dari pihak termohon.”Mengadili, menolak eksepsi Termohon. Menyatakan hakim praperadilan Negeri Denpasar berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara aquo,” tegas hakim Agus Akhyudi.

Baca Juga:  Ditangkap Simpan Ganja 2 Paket, Pria Kelahiran Medan Dituntut Rehabilitasi

Dengan ditolaknya eksepsi dari Termohon, praperadilan Prof Antara melawan Kejati Bali dilanjutkan dengan agenda pembuktian berupa pemeriksaan saksi dan ahli. Pihak pemohon yang diberikan kesempatan lebih awal langsung menghadirkan satu orang saksi fakta dan  tiga orang ahli.

Muhammad Adi Khairul Anshary, ST.,MT., dari Universita Siliwangi, yang merupakan Dosen dan juga Kepala UPT Teknologi Informasi dan Komunikasi yang merupakan saksi fakta. Sementara tiga ahli yang dihadirkan adalah Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, ahli hukum keuangan negara dari UI, Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H., sebagai Ahli Hukum Acara Pidana Universitas Islam Indonesia,  Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn., sebagai ahli hukum administrasi UGM dan Dewa Gede Palguna dari Unud.

Baca Juga:  Tiga Tersangka Kasus SPI Unud Terima SPDP dan Surat Penetapan Tersangka 

Saksi Muhammad Adi Khairul Anshary saat dimintai keterangan dalam sidang langsung menjelaskan secara umum terkait jalur penerimaan mahasiswa baru, dan juga terkait SPI. Dikatakannya, soal penerimaan mahasiswa baru, calon mahasiswa yang mendaftar akan membuat akun sendiri. Artinya ini semua dilakukan secara online.

Sementara, terkait penerimaan mahasiswa melalui jalur Mandiri, yang membayar SPI, mahasiswa yang dinyatakan lulus dan mulai registrasi. “Pembayarannya melalui sistem, dan setelah pembayaran SPI maka ia akan mendapatkan NIM. Pembayaran SPI ini dilakukan pada saat registrasi. Sementara, terkait dana SPI, semuanya masuk ke satu rekening dan tidak bisa diambil sembarangan,” ucapnya.

Baca Juga:  Nelayan Asal Desa Mokantarak yang Tenggelam di Teluk Noba Ditemukan Tewas di Dasar Laut

Untuk keterangan Ahli, saksi pertama Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang menyampaikan, terkait hukum keuangan negara, dalam menentukan adanya indikasi kerugian keuangan negara, dilakukan audit investigatif.

Jadi audit investigatif ini dapat mengungkap dan memberikan simpulan  apakah dalam pengelolaan keuangan ini ada indikasi kerugian, berapa jumlah kerugian secara pasti. Artinya harus berdasarkan nilai yang valid. “Yang melakukan audit investigatif harus dilakukan oleh badan yang berwenang, buka  dari badan yang tidak berenang. Jika audit dilakukan buka dari lembaga berwenang, tentu menjadi tidak sah,” katanya dalam persidangan.

Baca Juga:  Pengangkatan Pembina Yayasan Dhyana Pura Tidak Sah, Ahli Subha Karma Sebut Bertentangan Undang-undang

Menurutnya BKP lah yang berwenang menilai kerugian negara. Hasil pemeriksaan kata dia, adalah salah satu alat bukti yang digunakan dalam penyidikan. Dari segi hukum keuangan, unsur merugikan keuangan negara harus diawali bukti audit.

 Yang mana, hasil audit dari lembaga berwenang ini lah menjadi bukti awal yang sah dalam menetapkan atau memulai penyidikan. “Kerugian negara itu harus nyata dan pasti sesuai hasil audit dari lembaga resmi. Begitu juga, kerugian keuangan negara itu harus nyata dan pasti. Tidak bisa berdasarkan indikasi potensi, imajinasi, dan harus sesuai hasil audit,” bebernya.

Baca Juga:  Kejati Bali Tetapkan Tiga Pejabat Unud Tersangka Kasus SPI

Saksi ahli kedua, Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H., di muka sidang  menegaskan,  soal penetapan tersangka kasus korupsi, wajib didahului dengan penghitungan kerugian negara oleh lembaga berwenang yang bersifat nyata dan faktual. Bila suatu kasus memang belum ada perhitungan, yang mana hanya dilakukan oleh penyidik, sehingga penetapan tersangka ini menjadi tidak sah.

Sedangkan, terkait penghitungan kerugian keuangan negara, memang harus dilakukan oleh lembaga yang berwenang. Penyidik dalam hal ini, tidak bisa menghitung kerugian ini, yang artinya kualitas pembuktian tidak terpenuhi. Biasanya perkara tipikor, pada pasal.korupsi, harus ada penghitungan.

Baca Juga:  Pasca OTT Kades Bongkasa, Pejabat Pemkab Badung Sulit Ditemui

“Kalau memang faktanya tidak ada penghitungan kerugian dari lembaga berwenang, artinya itu tidak sah penetapan tersangka nya. Sebetulnya keputusan MK itu Penyidik boleh menghitung, namun harus berkoordinasi dengan lembaga berwenang. Harusnya ada permohonan resmi dari penyidik untuk penghitungan kepada lembaga. Kemudian hasilnya itu akan jadi laporan bukti surat. Bukan menghitung sendiri apalagi nilainya miliaran,” ucapnya.

Hal itu juga kemudian diperkuat dengan keterangan dari saksi ahli ketiga yakni Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn. Ia menyebutkan kalau yang namanya kerugian keuangan negara, harus nyata dan pasti. Maka dari itu, barus benar-benar dibuktikan dan itu harus diaudit oleh lembaga yang berwenang. Yakni lembaga BPK sebagai lembaga konstitusional yang memiliki kewenangan konstitusional untuk melakukan audit kerugian keuangan negara.

Baca Juga:  Selundupkan Narkoba ke Bali, WNA Pemilik 2 Paspor Terancam Hukuman Berat

“Analogi kasus ini, memang ada hasil audit, tapi itu dihitung sendiri oleh penyidik. Menurut pemahaman saya, kewenangan mengaudit itu ada di BPK, bukan oleh penyidik sendiri. Dengan demikian pembuktian kalau itu dilakukan oleh penyidik sendiri, berdasarkan pandangan analogi itu, ini artinya tidak sah,” tugasnya.

Sementara itu, Dewa Gede Palguna, ahli yang terakhir memberi keterangan mengatakan, sesuai keputusan mahkamah konstitusi nomor 25 tahun 2016, yang disana dikatakan bahwa kata dapat merugikan keuangan negara itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Bahwa menurut konstitusi, kerugian negara itu harus pasti jumlahnya dan itu harus dilakukan oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk oleh instansi wewenang.”Oleh karena itu audit tidak boleh dilakukan sendiri di luar BPK, BPKP dan lembaga berwenang Lain,” tegas mantan hakim MK tersebut.(DN)