Ketua DPRD Bali Adi Wiryatama Pastikan Tolak Program Nyamuk Ber-Wolbachia di Bali
Denpasar (Dewannews.com) – Marak timbulkan pro-kontra di masyarakat, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Provinsi Bali I Nyoman Adi Wiryatama akhirnya secara tegas menyatakan menolak penyebaran nyamuk ber-Wolbachia di Bali. Penolakan itu disampaikan Adi Wiryatama saat menerima kedatangan komponen masyarakat peduli Bali di ruang kerjanya, Gedung DPRD Bali, Renon, Denpasar, Selasa (5/12/2023)
“Ini dari kaca mata politik, mungkin ada tujuan-tujuan lain. Ada “another purpose’ tertentu yang kita tidak tahu. Jadi kita boleh curigalah. Saya menolak program tersebut karena Bali sebagai daerah pariwisata tidak bisa menjadi tempat uji coba. Lebih baik dipindahkan ke tempat lain untuk melakukan uji coba,” tegas Adi Wiryatama saat ditemui Ketua Pusat Koordinasi Hindunesia (Puskor Hindunesia) Ida Bagus Ketut Susena bersama Humas-nya Dewa Putu Sudarsana yang juga Ketua Gema Perdamaian, Ketua Paiketan Krama Bali Wayan Jondra, dan Michael Claas dari Bali Solidarity.
Menyangkut polemik ini dirinya mengaku telah menanyakan Penjabat (Pj) Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya dan Sekda Provinsi Bali Dewa Made Indra terkait ada tidaknya surat resmi untuk melakukan uji coba penyebaran 200 juta telur nyamuk ber-Wolbachia di Bali khususnya di Kota Denpasar dan Singaraja.
“Intinya saya sudah melakukan koordinasi sama Pak Pj Gubernur, saya tanya Pak Sekda. Ada sosialisasi? Ada surat resmi bahwa Bali itu menjadi daerah uji coba? Ndak ada,” tandas Adi Wiryatama.
Dengan dasar itu pula selanjutnya Adi Wiryatama menyampaikan kepada Pj Gubernur agar program tersebut ditunda.
“Saya sepakat via telepon waktu itu dengan Pj Gubernur, saya tunda sampai kami betul-betul masyarakat Bali memahami dan tahu kegunaannya. Sebelum kami percaya, dan selama itu kami akan tunda sampai kapanpun. Stop uji cobanya dan stop penyebarannya,” cetusnya.
Apalagi imbuh Adi Wiryatama, proyek nyamuk ber-Wolbachia ini telah menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
“Apalagi sekarang kita setiap hari berurusan dengan panggung politik. Dampak krisis Covid belum selesai, belum lagi aneh-aneh datang (nyamuk ber-Wolbachia, red) lagi. Makanya kita kaget. Malahan disampaikan sudah ada di Denpasar. Lho, kok bisa? Makanya kami jadi bertanya. Cover (lindungi) ini Bali, Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Sekda Bali, Gubernur Bali, Ketua DPRD Bali. Nah secara politik kami yang pegang. Kami ndak tahu, kenapa ini bisa masuk-masuk?,” tanya Adi Wiryatama keheranan.
Ketua DPRD Bali berjanji akan mengirimkan surat keberatan dari komponen masyarakat peduli Bali ini ke Komisi IX DPR RI sebagai bentuk penolakan program tersebut dilaksanakan di Bali.
“Kepada teman-teman yang peduli Bali saya ucapkan terima kasih. Marilah kita jaga Bali ini sesuai dengan adat istidat kita, dengan kebiasaan kita. Kok kita ngundang-ngundang nyamuk? Nyamuk yang ada dan yang sudah familiar saja belum terselesaikan, kenapa lagi ngundang-ngundang nyamuk? Tidak masuk akal lah. Saya takutnya ini ada tujuan-tujuan lain, politik internasional,” singgungnya.
Jumlah penduduk Indonesia menurutnya sangat gemuk dan wilayahnya luas. Begitu pula sumber daya alamnya masih bagus.
“Kita curiga ada tujuan-tujuan tersembunyi. Makanya lebih baik kita berhati-hati. Ini daerah pariwisata, nanti orang berduyun-duyun lari dari Bali. Pak Pj (Gubernur) nelepon saya, ‘Tolak’ saya bilang begitu,” pungkas Adi Wiryatama.
Sebelumnya komponen masyarakat peduli Bali mempertanyakan keseriusan Pj Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya perihal ketegasan penolakan program nyamuk ber-Wolbachia di Bali.
Pasalnya pihak yang terlibat di dalamnya seperti World Mosquito Program (WMP) dan Yayasan Save the Children masih melakukan aktivitas di Bali hingga saat ini. Padahal sebelumnya program tersebut ditolak oleh Pj Gubernur Bali. Mereka kembali melakukan manuver, di mana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristik) menggelar seminar di Universitas Udayana mengenai nyamuk bermetode Wolbachia, Kamis (30/11/2023).
Berita tersebut mendapat tanggapan dari elemen masyarakat peduli Bali, yakni Pusat Koordinasi Hindu Indonesia (Puskor Hindunesia), Gema Perdamaian dan Paiketan Krama Bali mendatangi Kantor Gubernur Bali untuk mempertanyakan Keseriusan Pj Gubernur Bali dalam menolak program tersebut.
“Kehadiran kami (elemen masyarakat peduli Bali, red) ke Kantor Gubernur Bali untuk mempertegas posisi kami prihal penolakan program nyamuk ber-Wolbachia yang ada di Bali. Kami sudah bertemu beberapa tokoh penting yang ada di Bali,” terang Ketua Umum Puskor Hindunesia Ida Bagus Ketut Susena di Kantor Gubernur Bali, Sabtu (2/12/23).
Susena mendesak pemerintah dalam hal ini Pj Gubernur Bali agar memiliki sikap yang sama dengan elemen masyarakat peduli Bali dalam menolak program nyamuk ber-Wolbachia.
“Kita berharap pemerintah memiliki sikap yang sama tidak ragu-ragu menolak program nyamuk ber-Wolbachia,” sambungnya.
Ia menyayangkan sikap Universitas Udayana menggelar seminar mengenai nyamuk ber-Wolbachia yang dianggap mencederai hati masyarakat Bali.
“Sangat disayangkan universitas kebanggaan Bali ini melakukan seminar yang mengendors gerakan nyamuk ber-Wolbachia. Kita sangat sayangkan dimana akademisi dan para ahli ini melakukan tindakan yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat Bali,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya di media pihak Universitas Udayana menggelar “Seminar Tantangan dan Peluang Implementasi Nyamuk Ber-Wolbachia di Bali”, dengan tujuan untuk memberikan kajian akademik demi ketenangan masyarakat terkait pro-kontra program penyebaran 200 juta telur nyamuk ber-Wolbachia di Bali, Rektor Universitas Udayana (Unud) berinisiatif membentuk Kelompok Kerja Ahli Kajian Inovasi Nyamuk yang membawa bakteri Wolbachia.
“Kelompok kerja itu mempunyai keahlian beragam dari mikrobiologi, virologi, entomologi, kesehatan masyarakat, dan biologi,” ungkap Rektor Universitas Udayana, yang diwakili Wakil Rektor Bidang Akademik Prof. Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja, MP pada Seminar Inisiatif Implementasi Metode Wolbachia di Bali: Tantangan dan Peluang, Universitas Udayana, Denpasar, Kamis (30/11/2023).
Seminar dihadiri dosen dan mahasiswa Unud, Dinas Kesehatan se-Bali, universitas negeri dan swasta di Bali.
“Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) menurutnya masih belum terkendali di Bali. Tingkat kejadian yang tercatat antara 200 sampai 500 setiap tahun. Data yang tak tercatat atau tidak dilaporkan dapat lebih banyak lagi. Persentase yang meninggal 5-30%, atau antara 10-150 setiap tahun,” urainya.
Inovasi telur nyamuk yang membawa Bakteri Wolbachia dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian serta pengeluaran biaya perawatan dan kehilangan tenaga kerja selama sakit. Inovasi baru ini telah terbukti efektif dan aman. Telur nyamuknya ngangge udeng (memakai destar, red), karena telurnya dari nyamuk yang ditangkap dan ditelurkan di Bali. Wolbachia juga bukan hasil rekayasa genetika.
“Unud harus berperan penting dalam kajian teknologi ini,” tandas Prof Rai.
Wolbachia digunakan dalam kontrol vektor, terutama nyamuk yang menyebarkan penyakit seperti demam berdarah dengue dengan cara (1) Cytoplasmic Incompatibility (CI) sehingga embrio nyamuk mati; (2) Feminisasi dan Parthenogenesis yang dapat meningkatkan jumlah betina dalam populasi, meningkatkan potensi penularan Wolbachia; (3) Konkurensi Galur yang lebih unggul dalam memanipulasi reproduksi inang atau memiliki dampak positif pada kelangsungan hidup inang dapat mendominasi dalam suatu populasi; dan Mekanisme Penekanan Patogen yaitu menghambat replikasi virus.
“Agar tidak meresahkan, informasi tentang teknologi harus dijelaskan. Wolbachia bakteri alami yang sudah ditemukan di Indonesia yang mungkin juga ada pada nyamuk di Bali,” pungkas Prof Rai.
Menyambung yang disampaikan Prof Rai, Guru Besar Fakultas Kedokteran Unud Putu Pande Januraga menyatakan hal senada. Ia menuturkan sosialisasi penyebaran nyamuk ber-Wolbachia perlu dilakukan lebih masif agar masyarakat mendapatkan informasi yang utuh.
Dikatakan Januraga, penyebaran nyamuk wolbachia sebagai upaya menekan kasus DBD juga dapat dilakukan dengan sosialisasi mengajak peran serta ribuan desa adat di Bali.
“Kita di Bali dengan desa adat 1.400-an sekian dan dengan menyentuh konsep adat menggunakan para sulinggih, tetua agama, tokoh adat. Sepertinya perlu cara yang spesifik yang berbeda untuk Bali dan dengan bahasa yang mudah diterima. Karena kalau pakai bahasa ilmiah akan sulit di masyarakat,” beber Januraga.
Dijelaskan, bakteri Wolbachia ini hidup pada berbagai spesies nyamuk dan serangga yang bersifat Obligate endosymbionts, hanya hidup dalam tubuh nyamuk, dan hanya bisa berpindah dari induk nyamuk ke keturunannya melalui telur. Perpindahan antarnyamuk tidak mungkin terjadi.
Dalam program penanggulangan demam berdarah dengue di Bali, Teknologi Wolbachia untuk penanggulangan Dengue menggunakan nyamuk Aedes aegypti yang telah diinfeksi dengan bakteri Wolbachia, lalu telurnya di letakkan di rumah-rumah penduduk agar kawin dengan nyamuk Aedes aegypti di alam. Hasil Randomized Controlled Trial (RCT) di beberapa daerah di Yogyakarta sejak tahun 2011 dan pada tahun 2020 menunjukkan efektivitas implementasi metode Wolbachia menyebabkan penurunan kasus DBD sampai 77% dan penurunan angka masuk rumah sakit sampai 86%.
Lebih lanjut Peneliti Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gajah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad mengungkapkan polemik nyamuk ber-Wolbachia di Bali mencuat akibat kurangnya sosialisasi. Untuk dapat menerima program yang diklaim mampu menekan wabah demam berdarah dengue (DBD) ini menurutnya, perlu pendekatan kultural agar masyarakat Bali.
“Kami melihat elemen masyarakat yang paling banyak berperan dan bentuk kultur yang paling mereka terima. Mapping itu menjadi penting agar kita mampu memberikan pesan kepada mereka (masyarakat),” jelas Riris.
Ditambahkan pula, pendekatan yang tepat akan menentukan tingkat penerimaan dari masyarakat. Ia mencontohkan penyebaran nyamuk wolbachia di Yogyakarta yang membutuhkan waktu sosialisasi mencapai empat bulan hingga diterima masyarakat.
Sedangkan Akademisi Unud lainnya, Ni Nyoman Sri Budayanti, juga setali tiga uang. Ia menilai pro-kontra nyamuk ber-Wolbachia di Bali hanya masalah komunikasi lintas sektor.
“Kalau dari kajian ilmiah, bakteri Wolbachia itu aman. Hanya masalah kerja sama lintas sektor dan komunikasi lintas sektor yang membuat tidak ketemu titiknya,” tandasnya.
Seminar ini dilaksanakan secara hybrid, di mana pembicara berasal dari Kementerian Kesehatan Indonesia di Jakarta (online), Prof. Cameron Simmons (online) dari World Mosquito Program, Pembicara dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta serta pembicara Universitas Udayana yaitu Dr Sang Gede Purnama SKM, MSc, dr. Putu Ayu Asri Damayanti, S.Ked., M.Kes., Prof. Dr. drh. Gusti Ngurah Kade Mahardika dan Prof. dr Pande Putu Januraga, M.Kes, Dr.PH. (hd)