Keluarga Korban Penolakan RSUD Wangaya dan RSU Manuaba Tempuh Jalur Hukum
DENPASAR – DewanNews.com | Kasus dugaan penolakan pasien oleh dua rumah sakit di Denpasar terus bergulir. Keluarga korban Nengah Sariani (44) yang meninggal dunia dalam perjalanan karena terlambat penanganan akibat diduga ditolak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya dan Rumah Sakit Umum (RSU) Manuaba Denpasar, akhirnya menempuh jalur hukum.
Didampingi Penasihat Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Paiketan Krama Bali, Dewa Nyoman Wiesdya Danabrata Parsana, SH, SE dan I Wayan Gede Mardika SH MH melaporkan Pimpinan Rumah Sakit dan dokter terkait ke Polda Bali atas dugaan melanggar undang-undang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 32, pasal 190 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang mana ayat 2 dan Pasal 59 ayat 1 UU no 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan serta KUHP mengakibatkan korban meninggal dunia.
“Laporan sudah kami layangkan, ke Polda Bali, Selasa (4/10/2022) dengan palapor atas nama Kadek Suastama, suami korban dengan No. Reg: Dumas/827/x/2022/SPKT/Polda Bali, kami juga mengirim permohonan atnesi khusus Dumas ke Kapolri dan Irwasum,” kata Dewa Nyoman Wiesdya Danabrata Parsana, SH, SE. saat press conference di Denpasar, Minggu (16/10/2022).
Anak korban, Made Alit Putra (20) menjelaskan secara singkat kronologi hingga ibunya dinyatakan meninggal di RSUP Prof Ngoerah, kejadian bermula dari sang ibu yang mengalami batuk berdarah, lalu dia bersama kakak perempuan yang bernama Putu Eva Sopiani melarikan ibu segera ke RSUD Wangaya yang terdekat dari rumah pada 24 September 2022 pukul 20.30 Wita dengan berbonceng tiga.
“Sampai di Wangaya ada satpam, satpam bilang kenapa itu batuk berdarah, lalu panggil dokter tidak datang, lalu saya masuk ke dalam suruh nunggu, ada dokter perempuan datang bilang kalau ruangan penuh tidak ada bed, saya minta pertolongan pertama saja juga tidak bisa karena tidak ada bed terus disarankan ke Manuaba,” kata Alit
“Kami kemudian pinjam ambulans untuk ke Manuaba tidak dikasi. Kami akhirnya kembali naik sepeda motor bertiga langsung ke Manuaba, tiba di Manuaba saya panggil doketr kedalam, masih di atas motor dicek tangan ibu sama dokter laki-laki, lalu disarankan langsung ke Sanglah saja. Di Manuaba pinjam ambulans juga tidak dikasih karena alasannya takut menjadi masalah rumit,” jelasnya.
Selanjutnya dengan sepeda motor Alit dan kakak lanjut mengendarai sepeda motor melarikan sang ibu ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof Ngoerah/Sanglah sampai kaki jempol kiri ibunya terluka akibat terseret aspal.
“Di Sanglah ditangani diambilkan bed, diperiksa di UGD, dicek jantung sudah berhenti sudah meninggal dunia dalam perjalanan karena telat penanganan,” ungkapnya.
Alit dan keluarga menempuh jalur hukum karena tidak terima atas keabaian pihak rumah sakit yang menolak menangani hingga mengakibatkan ibunya meninggal. Bahkan tidak ada permohonan maaf langsung pihak rumah sakit ke pihak keluarga, sampai ibunya di aben pada 12 Oktober 2022 setelah sebelumnya dikubur pada 27 September 2022 di kampungnya Desa Mayong, Seririt, Buleleng.
“Saya mau lanjut ke ranah hukum supaya tidak ada lagi korban seperti saya, mungkin apabila segera diberikan pertolongan pertama, ibu saya masih bisa diselamatkan,” imbuhnya.
Sebelumya telah dilakukan Rapat Dengar Pendapat anatar Kuasa Hukum korban, dengan pihak Pemkot dan pihak terkait lainnya termasuk RSUD Wangaya yang dilaksanakan pada Senin 3 Oktober 2022 di Kantor Walikota Denpasar. Rapat juga dihadiri Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) provinsi dan kota serta Komite Etik Wangaya itu membahas UU tentang tenaga kesehatan dan pelayanan rumah sakit.
“Pada saat itu Walikota menanyakan sisi kemanusiaaan menyesalkan ada kejadian seperti ini. Sementara itu pihak RS membenarkan ambulans ada, pengakuan versi pihak RS bilang ke Alit kalau mau pakai ambulans BPBD, tapi versi Alit tidak ada menawarkan itu dari pihak wangaya, alasan lain penggunaan ambulans barus sesuai SOP, dokter dan perawar,” papar Dewa Nyoman Wiesdya Danabrata Parsana, SH, SE.
“Kemudian dari komisi etik RSUD Wangaya audit ke dokter yang berjaga saat itu dibilang secara SOP sudah benar, kalau IDI kota maupun provinsi patokannya hasil audit internal RS yang dipercaya” imbuhnya.
Namun demikian yang perlu diketahui adalah SOP yang dijalankan pihak rumah sakit tidak sesuai dengan apa yang diamanatkan undang-undang untuk mementingkan kemanusiaan.
“Kami LBH sudah statement kalau melanggar UU, waktu itu ada ambulans, tapi SOP dokter dan perawat sedikit, jadi ambulans tidak bisa keluar. Intinya RS merasa benar karena SOP, tapi itu pelanggaran jelas melanggar pasal 190 ayat 2 bisa dipidana 10 tahun denda 1 Miliar Rupiah, karena RS tidak memiliki legalitas menolak pasien terlebih dalam keadaan darurat,” jelas Dewa Nyoman Wiesdya Danabrata Parsana, SH, SE didampingi I Wayan Gede Mardika SH MH. (red)